Sumber: goodreads.com
Mario Ferdinandus Lawi, yang akrab disapa Mario Lawi, telah menempatkan dirinya sebagai salah satu ikon kebangkitan sastra di Nusa Tenggara Timur setelah masa yang cukup lama diliputi oleh kehadiran nama-nama besar seperti Gerson Poyk dan Umbu Landu Paranggi. Lahir pada 18 Februari 1991, Mario Lawi merupakan seorang penyair muda yang telah membawa harum nama Flobamorata ke panggung kesusastraan nasional. Lewat puisi-puisi unik ciptaannya, Mario bisa dianggap sebagai sosok penyair milenial yang memberi pengaruh cukup besar di Indonesia.
Salah satu hal yang membedakan Mario dari penulis lain adalah pendekatannya terhadap khazanah kitab suci dalam karya puisinya, sebuah pendekatan yang mirip dengan tokoh-tokoh sastra terkenal seperti W.S. Rendra, Abdul Hadi W.M., dan Emha Ainun Nadjib. Namun, apa yang membuatnya unik adalah kemampuannya menggabungkan kearifan lokal Jingitiu, warisan tradisional yang diperolehnya dari kakeknya, ke dalam karya sastranya. Bagi Mario, sastra dan agama memiliki keterkaitan yang erat. Baginya, Alkitab dan sastra memiliki substansi yang hampir serupa. Inspirasi ini melatarbelakangi lahirnya buku bertajuk “Ekaristi” yang penuh dengan nuansa rohani. Karya puisi Mario memiliki ciri khas dengan latar belakang budaya NTT dan pengalaman kehidupan gereja. Ia menawarkan puisi-puisi yang segar, baik dalam hal penulisan maupun pemilihan kata.
Konsistensi Mario F. Lawi dalam dunia sastra membawanya meraih penghargaan Taruna Sastra Nusantara pada tahun 2015. Penghargaan bergengsi ini pertama kali diperkenalkan pada tahun tersebut dan Mario menjadi penerima pertama dari NTT. Tim seleksi Taruna Sastra memilih Mario karena melihatnya sebagai salah satu penggerak muda yang berpengaruh dalam mengembangkan sastra NTT. Peran penting Mario juga tercermin dalam pembentukan komunitas sastra Dusun Flobamora, yang sejak beberapa tahun terakhir telah memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan sastra di NTT.
Mario memegang peran sentral dalam komunitas sastra ini, khususnya sebagai pemimpin redaksi Jurnal Sastra Santarang, sebuah jurnal sastra nirlaba yang dikelola bersama oleh anggota komunitas. Seiring dengan kontribusinya, jurnal ini telah menjadi salah satu media yang mengukuhkan dan merawat karya-karya sastra dari putra-putri NTT, mendapat sambutan hangat dan kontribusi positif dari para sastrawan nasional. Mario juga membagikan pengalamannya dalam menulis untuk memberikan semangat kepada generasi muda di NTT. Kelas menulis yang diadakan di NTT seringkali dimulai dengan penekanan pada pentingnya membaca sebelum menulis. Menurut Mario, menulis hanya dapat berkembang jika kebiasaan membaca sudah tertanam. Oleh karena itu, bagi generasi muda NTT yang ingin menulis, membiasakan diri dengan membaca terlebih dahulu sangatlah penting.
Selain itu, Mario juga menyoroti pentingnya kompetisi dan kepercayaan diri. Saat ini, semakin banyak pemuda yang berpartisipasi dalam lomba penulisan, bahkan melalui platform online. Ada kecenderungan di kalangan penulis NTT untuk merasa puas ketika karyanya dimuat di media lokal. Padahal, akan lebih baik jika mereka mencoba mengirimkan karya mereka ke media-media di luar NTT yang memiliki jangkauan nasional. Selain sebagai upaya promosi, hal ini juga dapat mengukur kualitas karya. Mario meyakini bahwa dengan terus mengembangkan diri, penghargaan akan datang dengan sendirinya.