Sleman – Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyoroti fenomena menarik sekaligus kontroversial yang terjadi di kalangan masyarakat adat Namblong. Komunitas adat ini menjadi sorotan karena mendirikan perseroan terbatas (PT) di atas tanah adat mereka sendiri, sebuah langkah yang memunculkan perdebatan: apakah ini merupakan terobosan baru atau justru bentuk kompromi terhadap sistem hukum modern.

Dalam seminar nasional yang digelar oleh FH UII, para akademisi membahas secara mendalam posisi masyarakat adat dalam struktur ekonomi dan hukum Indonesia. Selama ini, berbagai penelitian cenderung memposisikan masyarakat adat sebagai objek atau korban dari ekspansi korporasi. Namun, kasus Namblong menunjukkan dinamika berbeda, mereka justru menjadi subjek aktif yang beradaptasi terhadap perubahan sosial dan ekonomi di sekitarnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram, Prof. Widodo Dwi Putro, mengungkapkan bahwa fenomena ini menunjukkan bentuk mimikri hukum, yaitu kemampuan masyarakat adat untuk meniru dan menyesuaikan diri dengan sistem hukum modern tanpa kehilangan identitas adatnya.

“Dalam konteks masyarakat Namblong, mereka tidak menolak keberadaan korporasi. Sebaliknya, mereka membentuk korporasi mereka sendiri, yang sepenuhnya dimiliki oleh komunitas adat,” jelas Prof. Widodo.

Ia menilai langkah tersebut berhasil mematahkan tesis-tesis klasik yang selalu menempatkan masyarakat adat sebagai pihak tertindas oleh badan usaha besar.

Kendati demikian, Prof. Widodo mengingatkan bahwa fenomena ini tidak bebas dari risiko. Ia menyebut adanya potensi ‘perkawinan paksa’ antara hukum adat dan hukum korporasi, yang bisa menimbulkan dilema baru dalam tata kelola ekonomi berbasis komunitas adat.

Diskusi ini menjadi refleksi penting bagi dunia akademik dan pembuat kebijakan untuk meninjau kembali hubungan antara kearifan lokal, hukum adat, dan sistem hukum modern. Kasus Namblong membuka ruang bagi perdebatan tentang bagaimana masyarakat adat dapat berdaulat secara ekonomi tanpa kehilangan jati diri hukum dan budayanya.

Bagas / RBTV

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *