Pernahkah Anda merasa tiba-tiba ingin membuka kulkas atau mencari camilan saat sedang menghadapi deadline tugas yang menumpuk? Atau mungkin meraih sebungkus keripik saat merasa sedih setelah putus cinta? Jika ya, fenomena ini disebut “emotional eating”. Emotional Eating sering dialami oleh banyak orang dan ternyata ada penjelasan ilmiah di baliknya.

Peran Hormon Kortisol dalam Emotional Eating

Ketika mengalami stres, tubuh merespons dengan melepaskan hormon kortisol sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri. Hormon ini sebenarnya berfungsi mempersiapkan tubuh menghadapi situasi yang dianggap mengancam. Namun, kortisol memiliki efek samping yang cukup signifikan, yaitu meningkatkan nafsu makan, khususnya terhadap makanan yang tinggi gula dan lemak.

Mengapa tubuh memilih makanan manis dan berlemak? Hal ini karena jenis makanan tersebut menyediakan energi yang cepat, yang secara evolusioner dianggap sebagai “bahan bakar darurat” untuk menghadapi ancaman. Inilah alasan mengapa saat stres, kita cenderung lebih tertarik pada cokelat, es krim, atau gorengan dibandingkan dengan sayuran atau buah-buahan.

Dopamin: Sistem Reward di Otak

Selain kortisol, faktor lain yang berperan penting dalam emotional eating adalah dopamin. Ketika mengonsumsi makanan yang enak, terutama yang kaya gula dan lemak, otak melepaskan dopamin neurotransmitter yang bertanggung jawab memberikan perasaan senang dan kepuasan.

Proses ini menciptakan sistem reward di dalam otak. Ketika sedang sedih atau stres, otak secara otomatis mencari cara untuk merasa lebih baik, dan makanan menjadi solusi yang paling mudah dijangkau. Sayangnya, efek positif dari pelepasan dopamin ini hanya bersifat sementara, sehingga mendorong kita untuk terus mencari makanan guna mempertahankan perasaan tersebut.

Kebiasaan dan Pola Belajar

Emotional eating juga dipengaruhi oleh kebiasaan yang telah dipelajari sejak masa kanak-kanak. Banyak orang dibesarkan dengan pola pemberian makanan sebagai bentuk hadiah atau penghiburan, seperti diberi permen saat menangis atau es krim sebagai reward atas pencapaian tertentu. Pola ini kemudian terinternalisasi dan terus terbawa hingga dewasa.

Otak membentuk asosiasi yang kuat antara makanan dengan kenyamanan emosional. Ketika menghadapi situasi yang sulit, otak secara otomatis mengaktifkan pola lama ini dan mendorong kita untuk mencari makanan sebagai bentuk penghiburan diri.

Distraksi dari Emosi Negatif

Ngemil saat stres atau sedih juga berfungsi sebagai mekanisme distraksi. Aktivitas mengunyah dan fokus pada rasa makanan dapat mengalihkan perhatian kita dari pikiran atau perasaan yang tidak nyaman, meskipun hanya untuk sementara waktu.

Ini merupakan bentuk penghindaran emosional alih-alih menghadapi dan memproses perasaan yang sulit, kita justru “mengubur” emosi tersebut dengan makanan. Meskipun memberikan kelegaan sesaat, cara ini tidak menyelesaikan akar permasalahan dan bahkan dapat menciptakan perasaan bersalah setelahnya.

Dampak Negatif pada Kesehatan

Meskipun sesekali ngemil saat stres adalah hal yang normal, kebiasaan ini dapat menjadi problematik jika dilakukan secara berlebihan dan tidak terkontrol. Beberapa dampak negatif dari emotional eating yang berlebihan antara lain:

  • Peningkatan berat badan yang tidak diinginkan
  • Gangguan pola makan yang lebih serius seperti binge eating
  • Munculnya perasaan bersalah dan malu yang justru memperburuk kondisi emosional
  • Terbentuknya siklus negatif antara stres dan perilaku makan berlebihan
  • Risiko kesehatan fisik jangka panjang seperti obesitas dan penyakit metabolik

Strategi Mengelola Emotional Eating

Memahami mekanisme di balik emotional eating adalah langkah awal yang penting untuk mengelolanya dengan lebih baik. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan:

  • Temukan alternatif coping mechanism: Daripada langsung meraih makanan, cobalah aktivitas lain seperti berjalan kaki, mendengarkan musik, berbicara dengan teman, melakukan latihan pernapasan, atau menulis jurnal. Aktivitas-aktivitas ini dapat membantu mengelola emosi tanpa efek samping negatif.
  • Praktikkan mindful eating: Jika memang ingin ngemil, lakukan dengan penuh kesadaran. Nikmati setiap gigitan, rasakan tekstur dan rasanya, serta hindari distraksi dari gadget atau televisi. Ini membantu Anda lebih menyadari kapan tubuh sudah cukup.
  • Sediakan pilihan camilan yang lebih sehat: Simpan alternatif camilan yang bergizi di rumah atau kos seperti buah potong, kacang-kacangan, atau yogurt. Ketika dorongan ngemil muncul, pilihan yang tersedia sudah lebih baik untuk kesehatan.
  • Kelola stres dari sumbernya: Identifikasi penyebab stres yang sebenarnya dan cari solusi yang lebih konstruktif. Misalnya, jika stres karena tugas menumpuk, buatlah jadwal pengerjaan yang realistis. Jika sedih karena masalah pribadi, pertimbangkan untuk membicarakannya dengan orang yang dipercaya.

Kecenderungan untuk ngemil lebih banyak saat stres atau sedih merupakan respons alamiah yang melibatkan faktor biologis dan psikologis. Kombinasi antara pelepasan hormon kortisol, sistem reward dopamin di otak, kebiasaan yang terbentuk sejak kecil, dan kebutuhan akan distraksi emosional membuat makanan menjadi “pelarian” yang mudah diakses.

Namun dengan pemahaman yang tepat tentang mekanisme ini dan penerapan strategi pengelolaan yang baik, kita dapat mengembangkan hubungan yang lebih sehat dengan makanan dan emosi. Yang terpenting adalah tidak menyalahkan diri sendiri atas perilaku ini, melainkan berusaha memahami dan mengelolanya dengan lebih bijaksana. Tujuannya bukan untuk menghilangkan sepenuhnya kebiasaan emotional eating, tetapi untuk memiliki kontrol yang lebih baik sehingga tidak mengendalikan kualitas hidup kita.

Kiki Diana Melliasari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *