Gunungkidul – Masyarakat Gunungkidul masih setia merawat tradisi leluhur, salah satunya melalui gelaran upacara adat Sadranan di Petilasan Mbah Jobeh, Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop. Upacara adat ini tak hanya menjadi ritual rutin warga, tetapi juga mampu menarik antusiasme generasi muda yang ingin menyaksikan kearifan lokal yang terus terjaga hingga kini.

Gunungkidul memiliki banyak warisan budaya tak benda yang dilestarikan secara turun-temurun. Salah satunya adalah upacara Sadranan di Petilasan Mbah Jobeh yang digelar setiap tahun. Tradisi ini dipandang sebagai wujud rasa syukur masyarakat sekaligus tanda penghormatan kepada para leluhur.

Menurut legenda, Mbah Jobeh berasal dari kisah Ki Kentung, seorang tokoh yang dahulu berdoa di wilayah gersang tersebut. Dalam mimpinya, Ki Kentung mendapat pertanda bahwa tanah tandus itu akan berubah menjadi subur. Ketika ia terbangun, wilayah yang sebelumnya gersang benar-benar menjadi hijau. Sejak saat itu, tempat tersebut dikenal dengan sebutan Mbah Jobeh atau Ijo Kabeh (hijau semua).

CB Supriyanto, dari tim monitoring Kalurahan Budaya, menuturkan bahwa tradisi ini menjadi bukti nyata kuatnya ikatan masyarakat dengan nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhur. Lurah Petir, Sarju, menambahkan bahwa Sadranan juga menjadi momentum perekat sosial bagi warga.

Tak hanya warga setempat, antusiasme juga datang dari pengunjung luar daerah, termasuk kaum milenial. “Tradisi ini menarik karena memperlihatkan kearifan lokal yang tetap hidup meski zaman terus berubah,” ujar Fikri Afifa Mustaqin, mahasiswa UII Yogyakarta yang turut hadir dalam acara tersebut.

Bagi masyarakat, upacara Sadranan di Petilasan Mbah Jobeh bukan sekadar ritual budaya, melainkan simbol keteguhan dalam menjaga dan melestarikan tradisi lokal di tengah derasnya arus budaya Barat.

AGUNG/RBTV

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *