YOGYAKARTA Komunitas Perempuan Bertutur meluncurkan buku Warisan Luka: Kekerasan di Mata Perempuan. Buku ini berisi antologi fiksi mini karya 36 penulis anggota Komunitas Perempuan Bertutur.
Bertempat di Lippo Plaza Yogyakarta, Komunitas Perempuan Bertutur meluncurkan buku antologi fiksi Warisan Luka: Kekerasan di Mata Perempuan. Ini merupakan buku kelima yang telah diterbitkan oleh Komunitas Perempuan Bertutur.
Ketua Komunitas Perempuan Bertutur, Sri Yuliati, mengatakan bahwa buku ini memuat fiksi mini yang ditulis oleh 36 penulis, berisi kisah-kisah masa lalu yang menyisakan luka di hati.
Sri Yuliati juga menjelaskan alasan mengapa perempuan perlu menulis fiksi, yakni agar perempuan dapat tampil lebih elegan dalam bercerita. Menurutnya, fiksi menjadi media yang lebih sehat dibanding sekadar curahan hati atau status di media sosial yang dapat memancing emosi orang lain. Ujar, Sri Yuliati / Ketua Komunitas Perempuan Bertutur
Sementara itu, pencipta sampul buku Warisan Luka, Nana, mengungkapkan bahwa desain sampul bergambar hati yang terbelah lengkap dengan mata, hidung, dan mulut memiliki makna yang mendalam.
“Secara umum, gambar hati dan wajah tersebut melambangkan bias gender, bahwa kekerasan tidak hanya bisa terjadi pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki. Begitu pula, pelaku kekerasan tidak hanya laki-laki, melainkan perempuan juga bisa menjadi pelaku”. Ujar, Nana / Pencipta Sampul Buku Warisan Luka
Dalam acara peluncuran buku Warisan Luka ini, turut ditampilkan hiburan berupa line dance “Yank” dan Tari Golek Ayun-ayun.
Perempuan Bertutur merupakan wadah bagi perempuan tanpa membedakan usia, latar belakang pendidikan, latar belakang hidup, suku, ras, maupun agama, yang ingin berbagi pengalaman melalui karya tulisan, khususnya dalam bentuk fiksi mini.
Widi / RBTV