Kulon Progo — Di tengah gempuran camilan modern, geblek tetap bertahan sebagai jajanan tradisional yang menjadi identitas masyarakat Kulon Progo. Camilan berwarna putih dengan bentuk khas menyerupai angka delapan ini dibuat dari pati singkong, garam, dan bawang, menghasilkan cita rasa gurih dengan tekstur kenyal yang mudah dikenali.
Bentuk angka delapan tersebut bukan sekadar ciri visual, tetapi juga menjadi penanda kuat yang membedakan geblek dari olahan singkong lainnya di Yogyakarta.
Bentuk Khas yang Sarat Makna
Secara tradisional, geblek dibentuk menyerupai dua lingkaran yang saling menyatu, menyerupai angka delapan. Bentuk ini dihasilkan dari adonan pati singkong yang dibulatkan dan disatukan sebelum digoreng. Proses ini membutuhkan keterampilan tangan agar teksturnya tetap kenyal dan tidak mudah pecah saat digoreng.
Bagi sebagian masyarakat Kulon Progo, bentuk tersebut dimaknai sebagai simbol kebersamaan dan kesinambungan, mencerminkan hubungan antar generasi yang saling terikat. Meski tidak tertulis secara formal, makna ini hidup dalam ingatan kolektif warga yang mewariskan geblek dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sejarah Geblek dari Dapur Desa
Sejarah geblek tidak lepas dari kehidupan masyarakat agraris Kulon Progo. Jajanan ini muncul sebagai alternatif pangan sederhana berbahan singkong, komoditas yang mudah ditemukan di wilayah perbukitan Menoreh. Pada masa lalu, geblek kerap disajikan sebagai makanan pendamping saat bekerja di ladang atau sebagai kudapan keluarga di rumah.
Kepraktisan bahan dan proses pembuatan membuat geblek cepat menyebar di kalangan masyarakat desa. Seiring waktu, jajanan ini mulai dijajakan di pasar tradisional dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kuliner khas Kulon Progo.
Tradisi yang Terus Hidup di Era Modern
Memasuki era modern, geblek tetap bertahan berkat peran generasi muda yang mulai melihat nilai budaya dan ekonomi di balik jajanan tradisional ini. Dengan sentuhan inovasi pada kemasan dan pemasaran, geblek kini hadir sebagai oleh-oleh khas daerah tanpa meninggalkan bentuk dan rasa aslinya.
Langkah tersebut membuat geblek tidak hanya bertahan sebagai makanan nostalgia, tetapi juga beradaptasi sebagai produk kuliner yang relevan dengan zaman.
Warisan Kuliner yang Dijaga Bersama
Meski menghadapi tantangan seperti regenerasi pengrajin dan persaingan dengan camilan pabrikan, geblek tetap memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Dukungan pemerintah daerah melalui promosi wisata kuliner dan penguatan UMKM turut membantu menjaga keberlanjutan jajanan tradisional ini.
Dengan bentuknya yang unik menyerupai angka delapan dan sejarah panjang yang berakar dari dapur desa, geblek menjadi lebih dari sekadar camilan. Ia adalah simbol ketahanan budaya lokal, yang menunjukkan bahwa tradisi dapat terus hidup dan berkembang di tengah perubahan zaman.
Penyunting Artikel: NZ.KIRANA
