Kulon Progo & Bantul, Yogyakarta – Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Bantul kembali menggelar prosesi adat Siraman Pusaka sebagai bentuk pelestarian budaya serta menjalankan amanah dari Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Tradisi tahunan ini menjadi refleksi nilai-nilai kearifan lokal dan simbol pengabdian kepada leluhur.
Siraman Pusaka di Kulon Progo
Prosesi adat Siraman Pusaka di Kabupaten Kulon Progo dilaksanakan di halaman Rumah Dinas Bupati. Dua pusaka utama, yakni Kanjeng Kyai Bantar dan Kanjeng Kyai Amiluhur — yang merupakan pemberian dari Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman — dimandikan secara simbolis menggunakan air dari 12 sumber mata air yang tersebar di seluruh wilayah Kulon Progo.
Penyatuan air dari berbagai sumber ini menjadi simbol kebersamaan dan harapan agar kekuatan daerah tetap terjaga. Kepala Kundha Kabudayan Kulon Progo, Eka Pranyata, menyampaikan bahwa tradisi ini telah menjadi agenda tahunan yang penting bagi masyarakat Kulon Progo.
“Tradisi ini bukan sekadar seremonial, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap warisan budaya yang harus kita jaga dan teruskan,” ujar Eka Pranyata.
Jamasan Tombak di Bantul
Di Kabupaten Bantul, prosesi serupa digelar melalui upacara Jamasan Tombak Kyai Hagnya Murni — pusaka pemberian Sri Sultan Hamengku Buwono X. Kegiatan diawali dengan kirab pusaka yang dibawa oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta, diiringi langsung oleh Bupati Bantul Abdul Halim Muslih dan Sekretaris Daerah Agus Budi.
Tombak Kyai Hagnya Murni, yang memiliki dapur Pleret, dimandikan menggunakan air jeruk nipis dan warangan (larutan logam). Prosesi ini tak hanya bermakna simbolis, tetapi juga menjadi penyemangat bagi aparatur sipil negara (ASN) di Bantul untuk bekerja dengan semangat bersih, sebagaimana filosofi dari nama pusaka tersebut, “Hangnya Murni” — yang berarti pemerintahan yang murni dan bersih.
“Tradisi ini kami harapkan mampu memperkuat jati diri budaya lokal sekaligus membangun semangat pengabdian yang bersih dan akuntabel di lingkungan pemerintahan,” ujar Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih.
Melalui tradisi ini, kedua daerah menegaskan komitmennya dalam menjaga nilai-nilai budaya sekaligus mempererat hubungan masyarakat dengan akar sejarah dan spiritualitas leluhur.
Tim Kabar Jogja, RBTV, melaporkan.